Perbedaan Preferensi Politik: is it all in your brain??

Perkembangan situasi politik kerap menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam di masyarakat. Dinamika perbedaan pendapat itu cukup menarik untuk dicermati. Terkadang kita menemukan ada pihak yang cenderung mengabaikan fakta-fakta yang ada dan akan selalu berada di suatu posisi secara konsisten. Kenyataan atas gagalnya suatu program atau terjeratnya pemimpin gerakan mereka atas suatu kasus korupsi misalnya, tidak akan berpengaruh pada posisi dukungan mereka. Bahkan jika fakta-fakta itu sudah terang benderang sekalipun.

Bagi mereka, ternyata, rational politics simply doesn’t exist. Kecenderungan politik ditentukan oleh preferensi ideologis yang telah terbangun sejak awal. Biasanya mereka yang demikian ini adalah mereka yang berada di ujung kanan dan ujung kiri dari spektrum politik (“those at opposite ends of the political spectrum“), yaitu mereka yang preferensi ideologisnya “consistently conservative” maupun “consistently liberal“. Jumlah mereka memang tidak banyak, tapi biasanya mereka lah yang mendominasi pembicaraan di sosial media..:)

Yang menarik, mereka yang tergolong consistent conservative dan consistent liberal ini akan selalu berseberangan pendapat dalam nyaris semua hal. Bukan hanya dalam pandangan politik, tapi juga dalam berbagai aspek-aspek kehidupan sosial. Misal, para konservatif cenderung lebih suka hidup mengelompok bersama dengan mereka yang seagama (homogen), sedangkan para liberal lebih memilih tinggal di komunitas yang heterogen. Ada survey menarik di US tentang polarisasi politik dan pilihan hidup yang bisa dilihat di link ini. Walau survei ini ada di US, namun saya percaya polarisasi seperti ini juga ada di Indonesia.

Pertanyaannya sekarang, apa yang menentukan pilihan posisi seseorang dalam spektrum politik? Apa yang membuat seseorang menjadi konservatif atau liberal? Tentu banyak hipotesis yang bisa muncul, seperti cara pendidikan di rumah, pengaruh keluarga, memori kolektif dari lingkungan sekitar, hingga mungkin pengaruh media. Akan tetapi riset-riset neuroscience terbaru menunjukkan (secara kontroversial) bahwa preferensi politik mungkin bersumber dari otak; it may be biologically determined; it’s all in your brain. Penelitian mengenai hal ini sudah dimuat di beberapa jurnal, seperti antara lain di Cambridge’s Journal of Behavioral and Brain Science ini.

Penelitian di atas menunjukkan bahwa otak liberal dan konservatif bekerja dengan cara yang berbeda. Secara teknis dapat dikatakan bahwa variasi perbedaan kecenderungan politik dapat dijelaskan oleh perbedaan cara kerja otak. Riset-riset tersebut menunjukkan bahwa otak konservatif lebih peka terhadap stimuli negatif dari lingkungan dan cenderung mengalokasikan sumber daya psikologis yang lebih besar untuk menghadapinya dibanding otak liberal. Kaum konservatif memiliki “negativity bias”, reaksi mereka cenderung lebih keras dalam menghadapi aspek negatif dalam lingkungan.

Hal ini berarti bahwa kaum konservatif cenderung lebih antisipatif, protektif, dan menghindari risiko, dibanding dengan kaum liberal. Secara kultural, hal ini berimplikasi pada perwujudan kaum konservatif sebagai sosok pemegang tradisi, sementara kaum liberal lebih terbuka terhadap perubahan. Secara pandangan politik, kaum konservatif akan lebih anti-imigran (orang asing dipandang sebagai ancaman), cenderung lebih “nasionalis”, cenderung lebih proteksionis, cenderung setuju pada anggaran militer yang besar, pendukung big government, sangat condong pada nilai-nilai keluarga/family values dan sangat resisten terhadap hal-hal yang dipandang akan merusak nilai-nilai itu (anti aborsi, anti LGBT, dll).

Penelitian lain di University College London, yang beritanya dapat dilihat di sini , menggunakan teknik scan MRI pada otak sukarelawan dan menemukan bahwa otak konservatif memiliki volume amygdala kanan yang lebih besar, sementara otak liberal memiliki volume anterior cingulate cortex/insula yang lebih besar. Amygdala adalah bagian struktur otak yang diaktifkan dalam masa kecemasan atau kekhawatiran, atau pada saat tubuh secara refleks harus menghadapi situasi hidup atau mati, sementara anterior cingulate cortex adalah wilayah otak yang bertanggung jawab membantu kita menangani kompleksitas/keragaman dan bertanggung jawab akan self and social awareness.

On a positive note, keberadaan dua tipe ekstrim ini sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat untuk mejaga keseimbangan dinamika sosial. Di satu sisi kita butuh kehati-hatian dan pemertahanan tradisi, tapi di sisi lain kita juga membutuhkan inovasi, eksplorasi, keberanian mengambil risiko.

Pengetahuan ini bisa membuat kita lebih bijak dalam berdebat. Kedua kubu, baik “consistent conservative” maupun “consistent liberal“, akan sama-sama merasa genuinely benar. Kalau menemukan orang-orang seperti ini, sebaiknya cari damai saja. Perdebatan cuma akan buang-buang waktu dan energi..:P.

Untungnya, sebagian besar masyarakat, yaitu mereka yang ada di fungsi distribusi normal dari spektrum politik, biasanya preferensi ideologisnya mixed. Kalau tidak, tak terbayang betapa berisiknya perdebatan di sekitar kita…:)